BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Letak
geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini,
menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah.
Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya
berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan
mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Hal
tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap
keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam
daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab
diperlukannya suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber
daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Otonomi Daerah?
2.
Apa Visi
dan Misi dari Otonomi Daerah tersebut?
3.
Bagaimana
Sejarah Otonomi Daerah?
4.
Dimana
saja terdapat prinsip-prinsip otonomi daerah?
5.
Bagaimana
Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui hakikat otonomi daerah.
2.
Untuk
mengetahui visi otonomi daerah.
3.
Untuk
menjelaskan sejarah otonomi daerah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos
yang berarti undang-undang atau aturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi
berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan
tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPR/1998.
Pengertian
otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam
makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian
berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang
lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang
dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Salah
satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga
mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam
penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Uraian
diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi
daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam
penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi
daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah
semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat
B. Sejarah Otonomi Daerah
1) Warisan
Kolonial
Pada
tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah
undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya
menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang
merupakan persekutuan asli masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan
satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik
(kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
2) Masa
Pendudukan Jepang
Ketika
menjalar Perang dingin II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur
mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini
berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di
Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang
singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan
yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa
mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak
memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada
masa tersebut bersifat misleading.
3) Masa
Kemerdekaan
1. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
a. Provinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945
hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang
tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a.
Propinsi
b.
Kabupaten/kota
besar
c.
Desa/kota
kecil
d.
Yang
berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut
UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a.
Daerah
swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya
b.
Daerah
swatantra tingkat II
c.
Daerah
swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957
ini menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut
UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a.
Provinsi
(tingkat I)
b.
Kabupaten
(tingkat II)
c.
Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat
pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah
daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
5. Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU
ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi:
a.
Provinsi/ibu
kota negara
b.
Kabupaten/kotamadya
c.
Kecamatan
Titik berat otonomi
daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan
langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
6. Periode
Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a.
Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b.
Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
c.
Daerah
di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d.
Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No.
22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU
ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
7. Periode
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada
tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
C. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah
otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan
otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah
provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih
banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum
menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas
yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas
dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:[6]
a.
Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b.
Pelaksanaan
otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c.
Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah
kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d.
Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e.
Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f.
Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g.
Pelaksanaan
azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h.
Pelaksanaan
azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi
juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
D. Pembagian
Kekuasaan Dalam Kerangka Otonomi Daerah
Pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan
tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama
dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai
jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah
pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi
pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya
manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan
secara spesifik dalam UU tersebut.
Selain
itu otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintahan
pusat ( seperti, pada Negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang
diselenggarakan itu menyakut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang
di daerah; dan disebut bertanggunag jawab karena kewenangan yang diserahkan itu
harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu, otonomi
seluas-luasnya ( keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian,
dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan ke pada daerah otonom dalam rangka
desentralisai harus pula disertai penyelenggaraan dan pengalihan pembiayaan.
Sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Selain
sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administrative, maka
kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam
angka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada
daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:
a.
Kewenangan
yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan bidang pekerjaan
umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
b.
Kewenangan
pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makra, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial,
penelitian yang mencakup dalam wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regioal,
pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan
penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
c.
Kewenangan
kelautan yang tidak meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan
tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan
negara.
d.
Kewenangan
yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota
diserahkan kepada provinsi dengan penyertaan dari daerah otonom kabupaten atau
kota tersebut.
Dalam rangka negara
kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukakan pengawasan
terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat
terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang kebih
besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan.
Keseimbangan kekuasaan yang dimaksud adalah pengawasan ini tidak lagi dilakukan
secara struktural yaitu bupati/wali kota dan gubernur bertindak sebagai wakil
pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara
preventif perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (perda) memerlukan
persetujuan pusat untuk dapat berlaku.[7]
Terkait dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat 11
jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota, yaitu:[8]
1.
Pertahanan,
2.
Pertanian,
3.
Pendidikan
dan kebudayaan,
4.
Tenaga
kerja
5.
Kesehatan,
6.
Lingkungan
hidup,
7.
Pekerjaan
umum,
8.
Perhubungan,
9.
Perdagangan
dan industri,
10.
Penanaman
modal, dan
11.
Koperasi.
Penyerahan kesebelas
jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi kabupaten dan daerah otonomi kota
dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut :
1.
Makin
dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang
dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau.
2.
Penyerahan
sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom
kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan
sumber daya manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa,
berkreativitas dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas,
memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis kewenangan.
3.
Karena
distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan
berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan sebelas jenis
kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas
di kota-kota besar untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan
kota.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Hakikat
Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
2.
Pembagian
kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat harus berlandaskan
pada pemikiran bahwa Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik
nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah di Indonesia.
3.
Keterkaitan
antara otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah. Adalah Bersifat timbal
balik, artinya apabila prakondisi Otonomi daerah sebagai wujud demokrasinya
buruk maka pemilihan langsung kepala daerah kurang efektif dalam peningkatan
demokrasi. persyaratan. pelaksanaan Otonomi Daerah dalam NKRI, yang berprinsip
bahwa pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan
seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” harus
benar-benar di laksanakan dan di wujudkan tidak berhenti pada teori saja karena
dengan demikian tujuan negara untuk memakmurkan seluruh rakyat bisa tercapi.
B. Saran
Otonomi
daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah melalui
optimalisasi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bisa terwujud
dengan baik, maka perlu selalu dalam pengawasan, baik secara internal dari
pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri juga partisipasi masyarakat di
daerah. Dengan demikian sangat diharapkan peran masyarakat sipil di daerah
seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan di daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] A.
Ubaedillah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :
Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW
Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002),hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW
Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2005),hlm. 7
, (Jakarta :ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003), hlm.179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar