BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Pancasila merupakan dasar falsafah dari Negara Indonesia. Pancasila telah
diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1
Juni 1945 dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD
1945. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa tokoh yang merumuskan pancasila
ialah Mr Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Jika pancasila
dilihat dari aspek historis maka disini bisa dilihat bagaimana sejarah
pancasila yang menjiwai kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia dan bagaimana
pancasila tersebut dirumuskan menjadi dasar Negara.
Hal ini dilihat dari pada saat zaman penjajahan dan kolonialisme yang
mengakibatkan penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia, yang kemudian diperjuangkan
oleh bangsa Indonesia akhirnya merdeka sampai sekarang ini, nilai-nilai
pancasila tumbuh dan berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia.
Tentunya pengamalan sila-sila pancasila juga perlu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam filsafat pancasila, kita dituntut untuk mempelajari apa hakikat
pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai dasar Negara begitu pula
mengenai apa hakikat tiap-tiap sila. Dalam tulisan ini saya akan mencoba
menggali bagaimana hakikat sila pertama pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam filsafat dan Etika pancasila.
1.2 Perumusan masalah
Dengan memperhatikan latar belakang
tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan,
maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu
adalah:
1.
Bagaimana hakikat sila
Ketuhanan yang Maha Esa dalam filsafat pancasila ?
2.
Landasan filosofis
apakah yang melatarbelakangi adanya sila Ketuhanan yang Maha Esa?
1.3
Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
2. Untuk mengetahui hakikat yang terdapat dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa
dalam filsafat pancasila
3. Untuk mengetahui landasan filosofis dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta
perwujudannya sebagai etika pancasila
4. Untuk mendalami makna pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa
Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang
secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata
philosophia tersebut berakar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan
“sophia” (kearifan). Berdasarkan pengertian bahasa tersebut
filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom”atau
kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan.
Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti
merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa
menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang
ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Beberapa tokoh-tokoh filsafat menjelaskan pengertian filsafat adalah
sebagai berikut:
• Socrates (469-399 s.M.)
Filsafat adalah suatu
bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau berupa perenungan terhadap
azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahgia. Berdasarkan pemikiran tersebut
dapat dikembangkan bahwa manusia akan menemukan kebahagiaan dan keadilan jika
mereka mampu dan mau melakukan peninajauan diri atau refleksi diri
sehingga muncul koreksi terhadap diri secara obyektif
• Plato (472 – 347 s. M.)
Dalam karya tulisnya
“Republik” Plato menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan tentang
kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian dan menangkap pengetahuan
mengenai ide yang abadi dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato filsafat
merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap
pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato ini kemudan digolongkan
sebagai filsafat spekulatif.
2.2
Fungsi filsafat
Dengan memperhatikan makna filsafat sebagai proses dan produk filsafat,
serta pengkajiannya, filsafat juga berfungsi bagi kehidupan manusia dalam
kehidupannya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Fungsi tersebut antara
lain, sebagai berikut :
a.
Berfilsafat mengajak
manusia bersikap arif, berwawasan luas terhadap berbagai problem yang dihadapi.
Manusia diharapkan mampu memecahkan problem tersebut dengan cara
mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.
b.
Filsafat dapat
membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar
pandangan hidup atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.
Filsafat dapat
membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam
komunitas, agama dan hal-hal lain diluar dirinya, secara lebih arif, rasonal
dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
d.
Bagi mahasiswa atau
ilmuan dibutuhkan kemampuan menganalisis, atau analisis kritis yang komprehensif
dan sintetis atas berbagai masalah ilmiah yang dituangkan dalam
suatu riset atau kajian ilmiah lainnya
2.3 Pengertian Pancasila Sebagai Sistem
Pancasila yang terdiri dari atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem
filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan, saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan
secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Suatu kesatuan bagian-bagian.
2.
Bagian-bagian tersebut
mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
3.
Saling berhubungan,
saling ketergantungan.
4.
Kesemuanya dimaksudkan
untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem).
5.
Terjadi dalam suatu
lingkungan yang kompleks (shore dan Voich, 1974:22).
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap
sila pada hakikatnya merupakan suatu asa sendiri. Dasar filsafat Negara
Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas
peradaban. Namun demikian sila-sila pancasila itu bersama-sama merupakan
suatu kesatuan dan keutuhan. Setiap sila merupakan suatu unsur dari
kesatuan pancasila. Maka dasar filsafat Negara pancasila adalah suatu kesatuan
yang bersifat majemuk tunggal.
Sila-sila pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya
merupakan suatu kesatuan organis. Antara sila –sila pancasila itu saling
berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu
senantiasa dikualifikasi oleh sila –sila yang lainnya. Secara demikian ini maka
pancasila pada hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa
bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat hingga membentuk
suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat
dipahami dari pemikiran dasar yang terkandung dalam pancasila, yaitu pemikiran
tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan dirinya
sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu
sistem dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem filsafat lainnya antara
lain matrealisme, idealism, rasioanlisme, liberalism, sosialisme dan
sebagainya.
Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan
objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri
terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang.
Kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada pancasila, sehingga pancasila
sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas, dan berbeda dengan sistem filsafat
lainnya. Hal ini secara ilmiah disebut ciri khas secara objektif (Notonagoro,
1975:14). Misalnya kita mengamati jenis-jenis logam tertentu, emas, perak,
tembaga dan lainnya, kesemua jenis logam itu mempunyai ciri khas
tersendiri. Jadi ciri khas yang dimiliki oleh sesuatu itu akan menunjukkan
jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak dimliki oleh sesuatu
lainnya. Oleh Karena itu pancasila sebagai sistem filsafat akan memberikan
ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat pada sistem filsafat
lainnya.
2.4 Kesatuan Sila-Sila
Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya
merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi
kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari
sila-sila pancasila.
2.4.1 Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan
yang menyangkut sila-silanya saja, melainkan juga meliputi hakikat dasar dari
sila-sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila
pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang
memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar
ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok
sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
bahwa yang berketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan berkeadilan sosial pada
hakikatnya adalah manusia. (Notonagoro, 1975:23). Demikian juga jikalau
kita pahami dari segi filsafat Negara bahwa Pancasila adalah dasar
filsafat Negara , adapun pendukung pokok Negara adalah rakyat dan unsur rakyat
adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat
pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pacasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga
dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodratmanusia
adalah makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan
manusia sebagaimakhluk Tuhan YME. Oleh karena kedudukan
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan
YMEmendasari dan menjiwai keempat sila-sila pancasila yang lainnya.
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila pancasila
adalah berupa hubungan sebab akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan
Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai sebab
adapun negara sebagai akibat.
Sebagai suatu sistem
filsafat landasan sila-sila pancasila itu dalam hal isinya menunjukan suatu
hakikat makna yang bertingkat, serta ditinjau dari keluasannya memiliki
bentuk piramidal.
2.4.2 Dasar Epitemologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan
suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan
pedoman atau dasar bagi bangsa indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem
cita-cita atau keyakinan-keyakinan. Dan hal ini berarti filsafat telah menjelma
menjadi Ideologi (Abdulgani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka pancasila
memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu,
1) logos yaitu Rasionalitas atau penalaran, 2) pathos atau
penghayatan, dan 3) ethos yaitu kesusilaan (wibisono,
1996:3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka pancasila harus memiliki
unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu, pertama:
tentangsumber pengetahuan pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa
sumber pengetahuan pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa indonesia
sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan
serta pemikiran seseorang atu beberapa orang saja namun dirumuskan oleh
wakil-wakil bangsa indonesia dalam mendirikan negara. Dengan kata lain bahwa
bangsa indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.
Berikutnya tentang
susunan pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu
sistem pengetahuan maka pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis
baik dalam arti susunan sila-sila pancasila maupun isi arti sila-sila
pancasila. Dan susunan kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hierarkhis
dan berbenuk piramidal.
Dan susunan isi arti pancasila meliputi tiga hal, yaitu : pertama,
isi arti pancasila yang umum universal. Kedua, isi arti Pancasila
yang umum kolektif. Ketiga, isi arti pancasila yang bersifat khusus
dan kongkrit.
Pembahasan berikutnya
adalah pandangan panasia tentang pengetahuan manusia. Menurut
pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu
hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu Susunan kodrat yang
terdiri atas raga dan jiwa. Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur
: fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa
(rohani) manusia terdiri atas unsur potensi jiwa manusia yaitu : akal,
rasa, kehendak. Menurut Notonagoro dalam skema potensi rohaniah manusia
terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya
cipta manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan
yang benar terdapat tingakat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memoris,
reseptif dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan
pengetahuan atau dengan kata lain transformasi pengetahuan terdapat tingkatan
sebagai berikut :demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi,
intuisi, inspirasi dan ilham (Notonagoro, tanpa tahun). Berdasarkan
tingkatan tersebut di atas maka pancasila mengakui kebenaran rasio yang
bersumber pada akal manusia.
Epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsesus terutama dalam
kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada
pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.
2.5 Makna
Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya.
Hal ini dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila,
dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada
nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut
ini kita uraikan:
a. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah
pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Konsekuensi
yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara
memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29
UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang
meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).
b. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan
berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada
tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan
martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban
seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila,
artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada
nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila
ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan
umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan
hewan.
Hakikat pengertian di
atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alenia Pertama : “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan…”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD.
c. Persatuan
Indonesia
Persatuan
berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam
arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan
Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang
bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam
wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor
yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Persatuan
Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena
itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai
bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta
keturunan. Hal ini sesuai dengan alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia…”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD
1945.
d. Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan
berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu
wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia
menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam
hirarki kekuasaan.
Hikmat
kebijaksanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara
khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat.
Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut
sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga
perwakilan.
Dengan
demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sila ini merupakan
sendi asas kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata
pemerintahan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alenia keempat Pembukaan
UUD 1945 yang berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat...”
e. Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan
sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian
itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan
sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia
sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya
meliputi:
1. Keadilan
distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti
pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi,
dalam bentuk kesejahteraan, bantuan subsidi serta kesempatan dalam hidup
bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
2. Keadilan
legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuhan adalah ”causa prima”/sebab yang pertama , karena tidak tergantung
pada siapa pun atau pada apapun juga. Dia adalah yang mutlak, seluruh alam
semesta adalah ciptaannya. Yang Maha Esa adalah yang satu atau maha tunggal.
Esa dalam dzatnya, budinya, kehendaknya, adanya, adanya adalah hakekatnya Tuhan
bukan suatu compositum seperti manusia yang terdiri atas jiwa dan badan, maka
tidak ada yang menyamainya.
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Indonesia, yang
nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala, berupa
nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai agama. Dengan demikian
sila Ketuhanan yang Maha Esa nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia
sebagai kausa materialis. Makna yang terkandung dalam sila Ketuhanan yang Maha
Esa sebenarnya intinya adalah Ketuhanan.
3.2 Saran
Dalam kehidupan kita memang harus menjadikan pancasila sebagai pedoman
dasar dan harus melakukan pengamalan sila-sila dalam pancasila. Dalam sila
pertama terutama, kita harus menghormati berbagai macam agama yang ada di
Indonesia, sebagai perwujudan akan saling menghormati dan menghargai sesama
pemeluk agama. Karena Indonesia ini terdiri dari kemajemukan agama di dalam
berbagai wilayah Indonesia.
Selain itu manusia di Indonesia juga diberikan kebebasan untuk memeluk
agamanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing selama agama tersebut
merupakan agama yang keberadaannya diakui di Indonesia. Oleh karena itu
kerukunan antar umat beragama perlu kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang
Bhineka tunggal Ika dalam rangka perwujudan dan pengamalan sila-sila Pancasila
terutama dalam sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
DAFAR PUSTAKA
Bedjo dan Zainul
Akhyar. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education untuk
perguruan tinggi). Banjarmasin: Laboratorium Pendidikan
Kewarganegaraan. Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat.
Kaelan. 2004. Pancasila.
Yogyakarta : Paradigma.
Kaelan dan Ahmad
Zubaidi. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta : Paradigma.
Kansil, C. S. T, dan
Christine. S. T. Kansil. 1971. Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945. Jakarta
: Paradnya Paramita.
Salam, Burhanuddin.
1996. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta : PT. Rineka cipta.
Sutarto. 2006. Aspirasi,
PKN kelas X semester 2. Surakarta : CV. Pustaka Manggala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar