BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
gambaran kehidupan Suku Baduy ?
2. Ada
berapa kelompok masyarakat pada suku baduy ?
3. Bagaimana
Sistem Pemerintahan Suku Baduy ?
C.
Tujuan
Untuk mengetahu
kehidupan suku baduy dan juga untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul
Kebudayaan Suku Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut,
orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa
atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan
dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam
dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang
Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya
dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar
Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Padjajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah
melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut
dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya
tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika
dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy
merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi
oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat
pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di
daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda
Wiwitan (wiwitanasli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai
mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
B.
Pembagian
Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah
dengan orang
Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Kanekes
Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung:
Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan
orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang
teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
§ Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
§ Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
§ Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
§ Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
§ Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah
mereka yang dikenal sebagai Kanekes
Luar (Baduy
Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah
Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah
keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa
hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
§ Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
§ Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
§ Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
§ Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya
tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes
Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar
tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
§ Proses
pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes
Dalam.
§ Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans.
§ Menggunakan
peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca
& plastik.
§ Mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar
tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar
(Permana, 2001).
C.
Mata
Pencaharian Suku Baduy
Mata
pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma
dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah
gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan yang dianut
masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam
ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid
tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku
Baduy sendiri.
Inti dari kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau
perubahan sesedikit mungkin:“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak
boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)suku Baduy memiliki
tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang disebut
Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan
oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan
tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan
jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada
warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar
Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang
jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini
disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas
sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua
kampong.
D.
Hukum di Dalam Masyarakat Baduy
Hukuman
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan
bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang
mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu,
jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy
Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan
Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan
ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya
hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan
darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota. Banyak larangan yang diatur
dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang
memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan
beristri lebih dari satu.
E.
Segi Pakaian Suku Baduy
Dari
segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang
didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy
Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang
yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai
kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah
serba putih.
Untuk
bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya
dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana
Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya
luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam
maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka
mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai
dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka
secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada
koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001).
Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar
sedangkan Baduy Dalam sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
Masyarakat
baduy merupakan masyarakat yang menjungjung tinggi nilai demokrasi diantara
kesukuannya. Populasi masyrakat suku baduy saat ini mencapai antara ± 5000 –
8000 orang yang tersebar dalam 54 kampung yang mengelilingi tiga kampung utama
yaitu kampung cikeusik, Cikertawana dan cibeo. Orang Baduy tidak mengenal
poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah
satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku baduy pasangan yang
akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Suku baduy merupakan suku asli yang mendiami tanah
banten, kehidupan suku baduy masih mempertahankan adat istiadat dan budaya
leluhur mereka hingga saat ini. mereka percaya terhadap kepercayaan / keyakinan
yang terus diturunkan turun temurun hingga sekarang dan dijaga sedemikian
ketatnya supaya kepercayaan mereka tidak tersisihkan oleh agama-agama yang
begitu banyak mempengaruhi kehidupan dunia modern, dengan kedisiplinan dan
keteguhan mereka semuanya dapat terjaga dengan baik. Kepercayaan Suku
Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang
berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan
dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
B.
Saran-Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan
yang khas oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan Kebudayaan masyarakat
baduy agar kebudayaan mereka tetap lestari. Sebaiknya pemerintah daerah
kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku baduy untuk mengatur
masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka.
Maka kebudayaan suku baduy akan menjadi salah satu
kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dan adat
istiadat yang beragam. Namun walaupun memiliki keanekaragaman adat istiadat,
bangsa kita tetap mempunyai jiwa persatuan yang kuat seperti yang tercantum
dalam semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika.
Penulis yakin dalam pembelajaran dan pembuatan
Makalah ini masih banyak kekurangannya. Sebagai bahan untuk kemajuan penulis
dalam Pembuatan makalah ini, penulis mohon untuk kritik dan sarannya. Karena
kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Yani.Ahmad, dkk.2008. Etnografi suku Baduy: panduan pramuwisata Indonesia.
Marcus.A.S. 1986. Kehidupan suku baduy.Books.google.co.id
Koentjaraningrat. Manusia Dan Beberapa Kebudayaan
Di Indonesia. Djakarta : Penerbit Djambatan, 1971
Selo Soemarjan-Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga
Sosiologi. Djakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1964.
Soekarto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : CV. Rajawali, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar