Adsens

Minggu, 01 Januari 2017

Makalah Tentang Suku Baduy

BAB I
PENDAHULUAN


A.                Latar Belakang Masalah
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.


B.                 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran kehidupan Suku Baduy ?
2.      Ada berapa kelompok masyarakat pada suku baduy ?
3.      Bagaimana Sistem Pemerintahan Suku Baduy ?


C.                Tujuan
            Untuk mengetahu kehidupan suku baduy dan juga untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah.





BAB II
PEMBAHASAN


A.                Asal Usul Kebudayaan Suku Baduy

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Padjajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitanasli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.


B.                 Pembagian Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtupanamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
§  Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
§  Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
§  Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
§  Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
§  Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
§  Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
§  Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
§  Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
§  Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
§  Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
§  Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
§  Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
§  Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).


C.                Mata Pencaharian Suku Baduy
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)suku Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong.


D.                Hukum di Dalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota. Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.


E.                 Segi Pakaian Suku Baduy

Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.






















BAB III
PENUTUP


A.                Kesimpulan
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar sedangkan Baduy Dalam sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
          Masyarakat baduy merupakan masyarakat yang menjungjung tinggi nilai demokrasi diantara kesukuannya. Populasi masyrakat suku baduy saat ini mencapai antara ± 5000 – 8000 orang yang tersebar dalam 54 kampung yang mengelilingi tiga kampung utama yaitu kampung cikeusik, Cikertawana dan cibeo. Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku baduy pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Suku baduy merupakan suku asli yang mendiami tanah banten, kehidupan suku baduy masih mempertahankan adat istiadat dan budaya leluhur mereka hingga saat ini. mereka percaya terhadap kepercayaan / keyakinan yang terus diturunkan turun temurun hingga sekarang dan dijaga sedemikian ketatnya supaya kepercayaan mereka tidak tersisihkan oleh agama-agama yang begitu banyak mempengaruhi kehidupan dunia modern, dengan kedisiplinan dan keteguhan mereka semuanya dapat terjaga dengan baik.  Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.

B.            Saran-Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan Kebudayaan masyarakat baduy agar kebudayaan mereka tetap lestari. Sebaiknya pemerintah daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku baduy untuk mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka.
Maka kebudayaan suku baduy akan menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Namun walaupun memiliki keanekaragaman adat istiadat, bangsa kita tetap mempunyai jiwa persatuan yang kuat seperti yang tercantum dalam semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika.
Penulis yakin dalam pembelajaran dan pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangannya. Sebagai bahan untuk kemajuan penulis dalam Pembuatan makalah ini, penulis mohon untuk kritik dan sarannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Esa.

















DAFTAR PUSTAKA


Yani.Ahmad, dkk.2008. Etnografi suku Baduy: panduan pramuwisata Indonesia.
Marcus.A.S. 1986. Kehidupan suku baduy.Books.google.co.id
Koentjaraningrat. Manusia Dan Beberapa Kebudayaan Di Indonesia. Djakarta : Penerbit Djambatan, 1971
Selo Soemarjan-Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Djakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964.
Soekarto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali, 1985











Tidak ada komentar:

Posting Komentar