BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak
bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian
besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan
masalah tersebut tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori
hukum Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang
darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum
diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi
hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah
metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus (
Ijma’, kesepakatan). Oleh
karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari
pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunnah.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1.
Apa pengertian dari ijtihad?
2.
Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3.
Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah
:
1.
Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
2.
Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan dan usaha
keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam
mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau
hadits.
Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum,
ijtihad adalah penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak
ditentukan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan
definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai berikut:
a.
Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak
ada peranan nalar,
b.
Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c.
Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap
kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk
menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa
ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencakup dua pengertian:
a.
Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan
secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b.
Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan
umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan
waktu tertentu. Fungsi
ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang
belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran diturunkan secara
sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh
Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran
dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam
dalam kehidupan sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di
suatu tempat tertentu atau disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus
mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika
persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak
membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-Quran dan Hadits yang disebut
dengan mujtahid.
2.2
Dasar Hukum Ijtihad
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1.
Al-Qur’an
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-nisa : 59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka
ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama,
yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi
orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang
ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain,
dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami
dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti
mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada
ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya
yang lain :
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69
)
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2.
Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap
orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat,
Dasar Hukum Islam, hlm 163)
اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ
فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (بخارى و مسلم)
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua
pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia
berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala
(pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog
Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di
Yaman berikut ini:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ
حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ
أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ
قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ
الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ.
فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk homs,
sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus
Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan
berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu
Dawud)
2.3 Kedudukan
Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat
dengan ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif,
b.
Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat
tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain,
c.
Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d.
Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
dan
e.
Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi
ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai
sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
2.4
Metodologi pelaksanaan ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat
metode-metode, antara lain sebagai berikut:
1.
Qiyas, yaitu
menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh
Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah
diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Beberapa
definisi qiyas (analogi):
a.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persmaan diantara keduanya.
b.
Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-Quran
atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
2.
Ijma’, atau yang
disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan
sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini
adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena
umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para
ulamanya.
3.
Istihsan,
yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan
lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi
samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas
kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan
dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama
kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih ringan keburukannya. Beberapa
definisi istisan:
a.
Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar,
b.
Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara
lisan olehnya,
c.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang
banyak,
d.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
e.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya.
4.
Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at.
Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan
mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil
Al-Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan
dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis
dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5.
Urf, adalah
sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh masyarakat.
Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat istiadat
dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6.
Istishab, adalah
menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang
menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkanpada
masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga teradapat dalil yang
menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7.
Sududz Dzariah, yaitu
tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat.
8.
Madzhab Shahabi, yaitu
menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan
pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum
ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
9.
Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
10.
Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan mujtahid) antara satu
dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat dengan ayat; atau
antara sunah dengan sunah).
2.5
Syarat ber-ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan
sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri.
Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang.
Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam
kelas-kelas tertentu, dan menyangkut
Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya
bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan
kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang
akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti
dalam dunia kedokteran, memang hak semua
orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki
otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika
semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya
adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua
orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan
membahayakan kehidupan ummat.
Untuk
itu, dalam kajian usul Fikih,
para ulama telah menetapkan
syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad.
Menurut al-Syaukani, untuk dapat
melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama,
mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini disepakati oleh
segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah,
menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang
harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi
seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani,
ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal
oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan
mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas
merupakan syarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad
dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi
seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia
hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut
tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah,
menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah
sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang
harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits.
Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di
luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat
ditemukan segera bila diperlukan. Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut
al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula
mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan
riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan
dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan
dha’if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar
kepala, cukup baginya mengetahui yang
demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat
periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).
Kedua,
mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak.
Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan
ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan
pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.
Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka
ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para
mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin
dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan
dalil hukum.
Ketiga,
mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam
hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa
Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam:
mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui
susunan-susunan kata yang khas (khusus),
yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk
kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan
bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu
tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui
ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang
itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah
diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi
mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa
al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat
menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau
tidak mengetahui bahasa Arab.
Atas dasar demikian, sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab
Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi
seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
Keempat, mengetahui ilmu usul
fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh seseorang
mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara
berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar
apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan
metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di
dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi
menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan
tentang usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an
dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih
secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang
qiyas sebagai gantinya.
3. Ketiga,
yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati
terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tentengusul fikih
sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal
penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di dalam usul
fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan
hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa
mengetahui cara meng-istinbath-kan
hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
Kelima,
mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut
al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang
telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani
di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah
dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan,
menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu secara garis besar
telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya dalam
melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani
sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di
sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara
jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan
dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan
tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah
dikemukakan di atas sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam
ijtihad hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi
al-Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan
ijtihad telah mendapat semacam wewenang
dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat.
Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang
berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa
nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani,
sebagaimana para pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat
melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu
secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi
syarat-syarat tersebut secara lengkap
dapat juga melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas
dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan
hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber
hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah:
qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan
dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk
pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam
dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam
Progresif. Serang : Untirta Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar