BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di
Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup
kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah
jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan
monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan
praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah
sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan
perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di
Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan
Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang
baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya,
pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada
Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan
pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu
melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam
dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia
kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati
makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang
sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok
tersebut dengan tombak.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran
Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran
beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa
Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di
Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro
membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong,
sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul,
sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung,
yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran
setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah
Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang
besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro,
rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi
tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang,
sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati
Gagatan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa
penyebab terjadinya perang diponegoro?
2.
Siapakah
sosok Pangeran Diponegoro sebagai tokoh sentral dalam perang diponegoro?
3.
Bagaimana
Jalannya perang diponegoro?
4.
Bagaimana
Taktik perang diponegoro?
5.
Bagaimana
akhir dari perang diponegoro?
1.3
Tujuan
Tujuan
dari penyusuna makalah ini adalah :
1)
Mengetahui siapa pangeran Diponegoro
2)
Mengetahui sebab-sebab meletusnya perang
Diponegoro
3)
Mengetahui jalannya perang Diponegoro dan akhir
perang Diponegoro.
4)
Sebagai pemenuhan atas tugas mata pelajaran
Sejarah Indonesi di Sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sebab terjadinya Perang
Diponegoro
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya
Perang Diponegoro. Sebab-sebab tersebut antara lain
a.
Sebab
Umum
Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin
merosot karena daerah kekuasaannya semakin berkurang. Kaum bangsawan merasa
dikurangi haknya, tanah-tanah yang mereka sewakan kepada pihak swasta Eropa
telah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, mereka harus
mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya. Kaum bangsawan kemudian
diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapatkan gaji.
Rakyat mempunyai beban yang sangat berat dalam
hidupnya, seperti kerja rodi dan membayar pajak tanah. Disamping itu, juga
terdapat pemungutan pajak yang diborongkan kepada orang-orang Cina. Pemungutan
yang dilakukan bersifat memeras dan menjadi beban buat rakyat.
b.
Sebab
Khusus
Sebab khusus Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan
yang melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan
jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV sebagai kaki tangan bangsa
Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo IV dicabut oleh
pasukan pangeran diponegoro. Pemasangan dan pencabutan patok-patok tanda
pembuatan jalan itu telah terjadi berulang kali. akhirnya Pangeran Diponegoro
memerintahkan agar patok-patok itu diganti dengan tombak sebagai pernyataan
perang.
Sementara itu, pihak Belanda tidak menginginkan
terjadinya perang. Pihak Belanda mengirim Pangeran Mangkubumi (Paman Pangeran
Diponegoro) untuk membujuk Pangeran Diponegoro agar mau bertemu dengan Residen
Belanda di rumah dinasnya. Pangeran Diponegoro menolak, karena telah mengetahui
maksud Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran
Diponegoro sedang berlangsung, tiba-tiba pihak Belanda melancarkan serangan.
Serangan pihak Belanda itulah yang menjadi awal dari Perang Diponegoro.
2.2 Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro
(1785-1855) adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu
Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu
Ageng di Tegalrejo. Sebuah tempat tinggal yang terpencil yang letaknya beberapa
kilometer dari istana Yogyakarta.Disana dia memasuki lingkungan-lingkungan
pesantren dan tidak mau menghadap istana yang tidak disukainya karena banyak
persengkongkolan, kemerosotan akhlak, pelanggaran susila, dan pengaruh barat
yang bersifat merusak.
Sekitar tahun 1805
pangeran diponegoro mengalami sebuah kejadian spiritual ,dia bermimpi bahwa dia
adalah calon raja yang mempunyai tugas bahwa dia harus memasuki zaman
kehancuran yang harus mensucikanya. Setelah 20 tahun menantikan wkatu yang
baik,sementara situasi di jawa bertambah buruk . Pada tahun 1820 mulai terjadi
pemberontakan –pemberontakan kecil.
2.3 Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang
Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi
yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu
dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama
dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan
tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak
tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan
mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan
dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah
belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan
rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi
tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari
23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare),
maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui
taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan
sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan
berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak
Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari
informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah
Sentot Prawirodirjomenyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan
bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang
Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya
tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro,
dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu.
Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus
silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
2.4 Taktik Perang Diponogoro
Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu
dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk
bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan
tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan
“musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut
nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan
mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota
keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah
komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan
tetap berjuang melawan Belanda.
2.5 Akhir Perang Diponegoro
Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro.
Di tahun itu pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan
justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak
yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan perang
gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus
kepungan Belanda di Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah
daerah yang bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya
dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun
benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro dapat
dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup
dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang
gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian
kepemimpinan di Hidia-Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang
menjalankan pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun
1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi
rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh
Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor
Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof
meninggal karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar
tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang
gerilya. Berkat perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai
Bagelen, sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini
semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas gerakan
Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen
direbut, Sungai Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan
dilanjutkan ke Ledok dan Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam
serangan ini Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali
dan pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke
Boyolali-Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta.
Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh
Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak,
sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud
membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya
pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak
ketinggalan pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut
bergerak memberi bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang
turut bergerak memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan
Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran.
Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan Diponegoro
berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit.
Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit
Diponegoro tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu
Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda.
Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan Belanda
itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan pasukan Belanda
(Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa
Geger diserang. Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan.
Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan
perlawanan sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan
Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan
menyerang sebuah desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam
sergapan itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro
(putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom
Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris.
Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya
Raden Mas Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada Belanda.
Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dan
memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga
para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab. Seperti
kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pimpinan pasukan Jogokaryo yang
bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para
panglima perang lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo,
Tumenggung Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul
kemudian Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta
pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga
menyerah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829, Pangeran
Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang
dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30 September
1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan
Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang
tak terkalahkan hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan
Sentot sendiri mengkhawatirkan karena kekurangan bahan makanan dan terputus
jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda melakukan
perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan syarat sebagai
berikut :
a.
Diberi
uang sebesar 10.000 Ringgit
b.
Tetap
memimpin pasukan Pinilih nya
c.
Diberi
500 pucuk senapan.
d.
Tetap
memeluk agama Islam
e.
Sentot
dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada
tanggal 17 Oktober 1829 Sentot menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal
24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati
jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai
tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan Hamengkubuwono V di
kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan gaji 100
ringgit per bulan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan
Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di
istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan
rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana. Adapun
pengaruh yang kurang baik diantaranya :
a.
Adat
istiadat banyak yang dilanggar.
b.
Ajaran
agama diabaikan.
c.
Uang
dihambur-hamburkan untuk pesta.
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah
mereka dirampas oleh Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak.
Hal itu tentu saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu
Diponegoro berniat untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang
terhadap rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun
khusus untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut
antara lain, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok
tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang
Pangeran Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut
campur tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya
adalah sebagai berikut:
1)
Belanda
akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa
meminta izin terlebih dahulu.
2)
Pangeran
Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda.
Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung
untuk melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian
Pemerintah Belanda tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta
melakukan perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro
memiliki taktik untuk bisa mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang
tersebut adalah taktik perang Gerilya.
Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan.
Walaupun saat itu Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang
luhur Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai
di kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda.
Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan
untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah
segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan
Belanda menyeret Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan
beliau, sampai ajal menjemputnya.
3.2
Saran
Saran kami melalui makalah ini kita harus selalu mengenang dan
menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah memperjuangkan nyawa
dan hidupnya untuk membela negeri kita dari para penjajah.
Dalam penulisan makalah ini juga lami menyadari bahwa
masih banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya seperti yang
diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik itu dari bapak/Ibu Guru maupun
rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat diharapkan guna memperbaiki
penulisan lebih lanjut.
DAFTAR
PUSTAKA
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2014/09/sebab-umum-dan-sebab-khusus-perang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar