BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Orde baru merupakan
sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Soekarno
(Orde Lama) dengan masa Soeharto. Sebagai masa yang menandai sebuah
masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru
lahir sebagai upaya untuk mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada
masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara Indonesia, melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen
dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan bangsa.
Setelah Orde Baru
memegang tampuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, muncul suatu
keinginan untuk terus-menerus mempertahankan status quo. Hal
ini menimbulkan ekses-ekses negative, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde
Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945,
banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang
dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal
tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
1.2
Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini kami
berharap dapat mencapai tujuan yang kami inginkan yaitu, dapat mempelajari dan
memahami perkembangan masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi
dan sekaligus mengerjakan tugas mata pelajaran Sejarah.
Semoga makalah yang saya buat
dapat memberikan manfaat kepada siswa-siswi,
khususnya saya sendiri agar menjadi siswa yang lebih dapat menghargai
nilai-nilai dari sejarah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Orde baru
merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa
Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa
baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
-
Mengoreksi
total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
-
Penataan
kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
-
Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
-
Menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.
Latar belakang
lahirnya Orde Baru :
1.
Terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2.
Keadaan
politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September
1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3.
Keadaan
perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.
Reaksi keras dan
meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang
dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta
Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5.
Kesatuan aksi
(KAMI, KAPI, KAPPI, KASI, dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk
Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan
“Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September
1965.
6.
Kesatuan Aksi
“Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan
tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi:
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
7.
Upaya
reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus
Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut
duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.
Wibawa dan
kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak
berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar
Biasa(Mahmilub).
9.
Sidang
Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil
langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau
dan sulit dikendalikan.
Upaya menuju
pemerintahan Orde Baru :
Ø Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah
dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi
negara dan pemerintahan.
Ø Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin
besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil
memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
Ø Munculnya konflik dualisme kepemimpinan
nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih
berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
Ø Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto
mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto.
Ø Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS
menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden
Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No.
XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat
MPRS dari Presiden Sukarno.
Ø 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik
sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Ø Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS
mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
2.2
Kehidupan Politik Masa Orde Baru
Upaya untuk
melaksanakan Orde Baru :
-
Melakukan
pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan
bernegara. Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
-
Menetapkan
Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
-
Melaksanakan
Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan
Orde Baru :
-
Awalnya
kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan
-
Perkembangannya,
kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
-
Untuk
menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk menganut sistem
pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan
kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun
tidak diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang
diambil pemerintah untuk penataan kehidupan Politik :
A. Penataan
Politik Dalam Negeri
1.
Pembentukan
Kabinet Pembangunan
Kabinet awal
pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas
yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet
AMPERA adalah sebagai berikut.
1.
Memperbaiki
kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2.
Melaksanakan
pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3.
Melaksanakan
politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4.
Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Selanjutnya
setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa
jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet
Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
-
Penciptaan
stabilitas politik dan ekonomi
-
Penyusunan dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
-
Pelaksanaan
Pemilihan Umum
-
Pengikisan
habis sisa-sisa Gerakan 30 September
-
Pembersihan
aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Soeharto
sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
Ø Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966
yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
Ø Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan
bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Ø Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan
pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3.
Penyederhanaan
dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu
1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti
menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah
partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi
tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan
sosial-politik, yaitu :
Ø Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan
fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal
5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
Ø Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan
fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok
partai politik yang bersifat nasionalis).Golongan Karya (Golkar)
4.
Pemilihan Umum
Selama masa
Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997.
1)
Pemilu 1971
-
Pejabat negara
harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara
termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut
menjadi calon partai secara formal.
-
Organisasai
politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada
dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
-
Pemilu 1971
diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360
orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
-
Diikuti oleh
10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai
Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai
Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai
Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI
(tak satu kursipun).
2)
Pemilu 1977
Sebelum
dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975
yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa
terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977
yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi
untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3)
Pemilu 1982
Pelaksanaan
Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara
nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP.
Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5
kursi.
4)
Pemilu 1987
Pemilu tahun
1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
-
PPP memperoleh
61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini
dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya
ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah
menjadi bintang.
-
Sementara
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
-
PDI memperoleh
kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres
tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5)
Pemilu 1992
Pemilu tahun
1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup
mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282
kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6)
Pemilu 1997
Pemilu keenam
dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya
pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar)
yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu
mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan
suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap
Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5.
Peran Ganda
ABRI
Guna
menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi
ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan
Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan
adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan
pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator
dan dinamisator.
6.
Pemasyarakatan
P4
Pada tanggal
12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk
menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa.
Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum
tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa
dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari
penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional
akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan
Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh
pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada
tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem
sosial masyarakat Indonesia.
7.
Mengadakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh wakil
PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
2.3 Peristiwa Penting
Sepanjang Orde Baru
Sejarah Orde
Baru dimulai tanggal 12 Maret 1967. Jenderal TNI Soeharto ditunjuk
oleh MPR sebagai pejabat presiden. Beliau menjalankan tugas kepresidenan yang
telah diambil alih dari Presiden Soekarno. Setahun kemudian Soeharto dipilih secara
resmi sebagai presiden untuk pertama kalinya sekaligus mengawali era Orde
Baru . Orde Baru memimpin pemerintahan di Indonesia
selama lebih kurang 32 tahun. Soeharto tampil sebagai presiden tunggal selama
tujuh kali berturut-turut. Selama menjalankan tugas kepresidenan, beliau
didampingi oleh wakil presiden yang berbeda. Wakil presidennya adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusuma, Soedharmono, Try
Sutrisno, dan B.J. Habibie. Pada periode pemerintahan 1998–2003, Soeharto harus
turun dari jabatannya karena desakan gerakan reformasi. Kita bisa mencatat
selama Orde Baru terjadi beberapa pelanggaran HAM dan
kebebasan pers. Sementara itu, Golkar dengan didukung ABRI dan birokrasi
memenangkan pemilu selama tujuh kali berturut-turut.
a.
Perkembangan Ekonomi pada
Masa Orde Baru
Soeharto perlu waktu sekitar dua
belas tahun untuk meraih keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi dan
kependudukan. Masa keemasan Orde Baru terjadi pada tahun
1976–1988. Keberhasilan itu didukung melonjaknya harga minyak dunia,
mengalirnya bantuan negara-negara donor, dan efektifnya rencana pembangunan
lima tahun (Repelita) I–III. Pada tahun 1980-an Indonesia adalah penghasil gas
alam cair terbesar di dunia. Kedudukan Indonesia sebagai negara antikomunis mempermudah
bantuan Barat.
Pelaksanaan Repelita bisa tepat
sasaran dan program. Upaya Orde Baru untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat berhasil pada periode itu. Pendapatan per kapita Indonesia
naik dari US$70 pada tahun 1968 menjadi US$1.000 pada tahun 1996.
b.
Prestasi Orde Baru
Prestasi yang perlu dicatat
selama Orde Baru sebagai berikut. Program transmigrasi bisa
mengatasi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan membuka lahan-lahan baru di luar
Pulau Jawa. Program keluarga berencana (KB) mampu menekan laju pertumbuhan
penduduk. Untuk memberantas buta huruf, pemerintah membuat program bebas tiga
buta (B3B). Pemerintah Orde Baru juga sukses menerapkan
Gerakan Wajib Belajar Wajar 9 Tahun dan Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
(GNOTA).Keberhasilan Soeharto menjaga stabilitas keamanan dalam negeri
mendorong masuknya investor asing. Mereka menanamkan modal di Indonesia
sehingga memperluas kesempatan kerja. Pemerintahan Orde Baru
juga berhasil menggalakkan cinta atas produk dalam negeri dan menumbuhkan rasa
nasionalisme.
Prestasi Orde
Baru yang fenomenal adalah swasembada pangan pada tahun 1980-an.
Usaha mencapai swasembada beras berlangsung selama Repelita I dan Repelita II.
Usaha ini dilaksanakan melalui rehabilitasi saluran irigasi, pembangunan jaringan
irigasi baru, penyediaan fasilitas kredit, penerapan kebijaksanaan harga, serta
pemanfaatan teknologi dan penyuluhan.
Repelita III menekankan usaha intensifikasi khusus (insus) pada tahun 1979.
Misalnya, dengan memperluas penggunaan benih varietas unggul, penggunaan pupuk
secara optimal, meningkatkan usaha pengendalian hama dan penyakit, serta
meningkatkan pengelolaan air irigasi. Atas usaha yang dilakukan sejak Repelita
I, impor beras tidak dilaksanakan mulai tahun 1984 dan swasembada beras
berhasil dicapai.
Untuk mempertahankan swasembada
beras dilaksanakan suprainsus pada Repelita IV. Sistem ini meningkatkan
partisipasi kelompok tani. Programnya antara lain pembangunan dan pemeliharaan
sarana irigasi, pencetakan sawah, dan pengendalian hama terpadu. Pada tahun
pertama Repelita V, peningkatan produksi padi dilaksanakan dengan meningkatkan
luas areal suprainsus dan pencetakan sawah.
Dari tabel di atas kita bisa
melihat produksi padi terus mengalami kenaikan. Dari 17,2 juta ton pada tahun
1968 menjadi 41,7 juta ton pada akhir Repelita IV atau meningkat lebih dua
kali. Peningkatan produksi padi yang begitu pesat telah menghasilkan swasembada
beras pada tahun 1984. Peningkatan produksi padi disebabkan meningkatnya hasil
rata-rata padi per hektare. Sejak awal Repelita I sampai akhirRepelita IV,
hasil rata-rata per hektare meningkat dari 2,13 ton per hektare (1968) menjadi
4,11 ton per hektare (1988). Peningkatan hasil rata-rata tersebut disebabkan
meningkatnya mutu usaha intensifikasi. Misalnya, pengelolaan air irigasi,
penyuluhan dan penyediaan fasilitas kredit, serasinya hubungan antara harga
pupuk dan padi, semakin baiknya prasarana dan distribusi pupuk, serta semakin
efisiennya penggunaan pupuk. Faktor lain yang menyebabkan kenaikan produksi
padi adalah semakin luasnya areal panen, terutama luas panen intensifikasi.
2.4 Berakhirnya Orde Baru
dan Lahirnya Reformasi
Di balik kesuksesan pembangunan
di depan, Orde Baru menyimpan beberapa kelemahan. Selama masa
pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh
subur. Korupsi besar yang pertama terjadi tahun 1970-an ketika Pertamina
dipegang Ibnu Sutowo. Praktik korupsi menggurita hingga kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998. Rasa ketidakadilan mencuat
ketika kroni-kroni Soeharto yang diduga bermasalah menduduki jabatan menteri
Kabinet Pembangunan VII. Kasus-kasus korupsi tidak pernah mendapat penyelesaian
hukum secara adil.
Pembangunan Indonesia
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan ketidakadilan dan
kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan
pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat. Akhirnya,
muncul rasa tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar
Jawa terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang
(transmigran) yang memperoleh tunjangan pemerintah. Penghasilan yang tidak
merata semakin memperparah kesenjangan sosial.
Pemerintah mengedepankan
pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan politik. Pemerintah melarang kritik
dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim Orde Baru . Kebebasan
pers dibatasi dan diwarnai pemberedelan koran maupun majalah. Untuk menjaga
keamanan atau mengatasi kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan
bersenjata. Misalnya, program ”Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah
Operasi Militer (DOM). Kelemahan tersebut mencapai puncak pada tahun 1997–1998.
a. Dari Krisis Ekonomi ke Krisis Multidimensi (Segala Bidang)
Indonesia mengalami krisis
ekonomi pada tahun 1997. Krisis moneter dan keuangan yang semula terjadi di
Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke Indonesia. Hal ini diperburuk dengan
kemarau terburuk dalam lima puluh tahun terakhir. Dari beberapa negara Asia,
Indonesia mengalami krisis paling parah. Solusi yang disarankan IMF justru
memperparah krisis. IMF memerintahkan penutupan enam belas bank swasta nasional
pada 1 November 1997. Hal ini memicu kebangkrutan bank dan negara. BPK
menemukan penyimpangan dana sebesar Rp. 138 triliun atas penggunaan dana BLBI
oleh ke-48 bank tersebut. Saat itu pemerintah menyalurkan BLBI sekitar Rp700
triliun. Ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam
mengatasi krisis. Sampai bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar
Rp147,7 triliun kepada 48 bank.
Krisis ekonomi mengakibatkan
rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan pokok melambung.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah. Daya beli masyarakat
menurun. Bahkan, hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp17.000,00
per dolar AS. Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah
mengeluarkan ”Gerakan Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan.
Krisis moneter tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis
ini ditandai adanya keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam
menyelesaikan krisis dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang
disusun Soeharto ternyata sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan
keahliannya. Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi.
b. Gerakan Reformasi
Munculnya gerakan reformasi
dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa
Indonesia. Semula gerakan ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus di
berbagai daerah. Akan tetapi, para mahasiswa harus turun ke jalan karena
aspirasi mereka tidak mendapatkan jalan keluar. Gerakan reformasi tahun 1998
mempunyai enam agenda antara lain suksesi kepemimpinan nasional, amendemen UUD
1945, pemberantasan KKN, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum,
dan pelaksanaan otonomi daerah. Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya
Soeharto dari jabatan presiden. Berikut ini kronologi beberapa peristiwa
penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.
1) Demonstrasi Mahasiswa
Desakan atas pelaksanaan reformasi
dalam kehidupan nasional dilakukan mahasiswa dan kelompok proreformasi. Pada
tanggal 7 Mei 1998 terjadi demonstrasi mahasiswa di Universitas Jayabaya,
Jakarta. Demonstrasi ini berakhir bentrok dengan aparat dan mengakibatkan 52
mahasiswa terluka. Sehari kemudian pada tanggal 8 Mei 1998 demonstrasi
mahasiswa terjadi di Yogyakarta (UGM dan sekitarnya). Demonstrasi ini juga
berakhir bentrok dengan aparat dan menewaskan seorang mahasiswa bernama Mozes
Gatotkaca. Dalam kondisi ini, Presiden Soeharto berangkat ke Mesir tanggal 9
Mei 1998 untuk menghadiri sidang G 15.
2) Peristiwa Trisakti
Tuntutan agar Presiden Soeharto
mundur semakin kencang disuarakan mahasiswa di berbagai tempat. Tidak jarang
hal ini mengakibatkan bentrokan dengan aparat keamanan. Pada tanggal 12 Mei
1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru
aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur. Mereka adalah Elang
Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Peristiwa
Trisakti mengundang simpati tokoh reformasi dan mahasiswa Indonesia.
3) Kerusuhan Mei 1998
Penembakan aparat di Universitas
Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada tanggal 13 Mei 1998
terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini
memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara itu,
mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para
demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
4) Pendudukan Gedung MPR/DPR
Mahasiswa Jakarta menjadikan
gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa
menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut. Mereka
berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas. Akhirnya,
tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari
jabatannya sebagai presiden. Pernyataan Harmoko itu kemudian dibantah oleh
Pangab Jenderal TNI Wiranto dan mengatakannya sebagai pendapat pribadi.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden
Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini dinyatakan setelah
Presiden Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan
tetapi, upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat.
5) Pembatalan Apel Kebangkitan Nasional
Momentum hari Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk
mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan tetapi, beliau membatalkan
rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan
tersebut. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan
rakyat berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto
mengundurkan diri pada hari Jumat tanggal 22 Mei 1998 atau DPR/MPR akan
terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri.
6) Pengunduran Diri Presiden Soeharto
Pada dini hari tanggal 21 Mei 1998 Amien Rais
selaku Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan, ”Selamat tinggal
pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru”. Ini beliau lakukan
setelah mendengar kepastian dari Yuzril Ihza Mahendra. Akhirnya, pada pukul
09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah
beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun.
Beliau mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Beliau kemudian digantikan B.J. Habibie. Sejak saat itu Indonesia memasuki era
reformasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejalan dengan dasar empirik
sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam
pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada era Orde
Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan presiden, militer dan PKI.
Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat kekuasaan dimana dibagi dalam
militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun harapan itu akhirnya menemui
ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara mengejutkan memenangi pemilu
lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah beberapa sekelumit cerita tentang
Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana kehidupan sosial, politik dan
ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru akhirnya tumbang bersamaan
dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para mahasiswa di depan gendung DPR
yang akhrinya pada saat itu titik tolak era Reformasi lahir. Dan pasca
reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi yang di Inginkan pada saat
itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
B. Saran
Perjalanan kehidupan birokrasi di
Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang
telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat
ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk
kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang
demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada
pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi
sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas
birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi,
birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan
kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara
terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial.
Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa
daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi
salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan
catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk
merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun
sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita
sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan
Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah
mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu
kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi
kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar