BAB I
PENDUHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah
lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
lingkungannya, terutama ,dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam
arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan
kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia
dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban
orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungandengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.[1]
Adanya kematian seseorang mengakibatkan
timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaiman acara penyelesaian harta
peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam
syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama IlmuMawaris, Fiqih Mawaris, atau
Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian
harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan
pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal
pembagian harta warisan.
Hukum waris islam adalah salah satu dari
obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia selain masalah
munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali
untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita
ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat
muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan
dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang
menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas
umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam
masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga
As-sunnah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Hukum Waris Menurut Hukum Islam ?
2.
Apa Dasar Hukum Waris Islam ?
3.
Bagaimana Sistem Hukum Waris Islam ?
4.
Apa Sebab-sebab Mewaris ?
5.
Bagiaman Penggolongan Ahli Waris ?
6.
Apa Hikmah Mawaris ?
C. Tujuan
1. Supaya
memahami tentang hukum waris islam serta mengetahui ruanglingkup dan isi dari
surat yang terkandung dalam Al-Qur’an tentang waris.
2. untuk
mengetahui apakah sebagian masyarakat memakai hukum waris islam dalm pembagian
harta warisnya.
3. supaya
mengetahui apakah hukum waris islam dijadikan
pedoman atau tidak apabila ada peristiwa kematian.
4. untuk
mengetahui pandangan masyarakat terhadap pembagian harta waris menurut hukum
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Waris Menurut Hukum Islam
Menurut Inpres No. 1 Tahun 1991
buku II dalam ketentuan umum poin a, yang dimaksud dengan hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilihan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
Al Ustaz H. Idris Ahmad mengatakan Faraidh artinya
bahagian atau Qadar. Menurut istilah syara berarti bahagian yang ditentukan
dari harta benda yang akan dipusakai. Ilmu Faraidh ini dikenal juga dengan
ilmu untuk memahami pembagian harta pusaka, ilmu hitung yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tiap-tiap orang yang mempunyai hak pada tirkah.[1]
Faraidh dalam
istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan
besar-kecilnya oleh syara.
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras, bentuk jamaknya adalah
mewaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan
kepada ahli warisnya.[2]
Lafadz al- faraidh, sebagai jamak dari lafazh rafaridhah, diartikan
sebagai bagian yang telah dipastikan kadarnya. Diartikan demikian karena
saham-saham yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan
saham-saham yang belum dipastikan kadarnya. Selanjutnya menurut bahasa lafazh
faraidhah mempunyai beberapa arti, antara lain:[3]
- Taqdir, yakni suatu ketentuan
- Qathu, yakni ketetapan yang pasti
- Inzal, yakni menurunkan
- Tabyin, yakni penjelasan
- Ihlal, yakni menghalalkan
- Atha', yakni pemberian
B. Dasar Hukum Waris Islam
·
Menurut Al-Qur'an
Berbicara mengenai hukum waris
berdasarkan Hukum Islam, harus mengacu kepada satu-satunya sumber hukum
tertinggi dalam hal ini adalah Al-Qur'an. Berkaitan dengan tersebut, dibawah
ini akan diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur'an yang merupakan sendi utama
pengaturan warisan dalam islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung menegaskan
perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur'an, diantaranya terdapat dalam
surat An-Nissa (QS. IV), surat Al-Baqarah (QS. II), dan surat Al-Ahzab
(QS.XXXIII).
Ayat-ayat suci yang berisi tentang
ketentuan hukum waris dalam Al-Qur'an, sebagian besar terdapat dalam surat
An-Nissa (QS. IV) diantaranya adalah sebagai berikut:
·
IV: 7; “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerbatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang Telah ditetapkan”.
·
QS: IV: 11; “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian 2
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta, dan untuk duua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika ia meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”.
·
IV: 12; “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipoenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesusah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun”.
·
QS: IV 33; “Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
·
QS: IV: 176; “Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memeberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu); jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
Saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
·
Menurut Al-Hadits
Al-Hadits atau as-sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Qur'an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah
fi'liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah) Rasulullah yang
tercatat (sekarang) hadits merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang
Al-Qur'an.[4]
Hadits mengenai waris ini antara lain adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:[5]
“Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
“berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah
itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama. (HR. Bukhari-Muslim).”
·
Menurut ijma dan qiyas
Menurut itu sendiri berarti
persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada
suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara yang
sama qiyas berarti menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
didalam Al-Qur'an dan al-hadits karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya.
Qiyas adalah ukuran yang dipergunakan akal budi untuk membanding suatu hal
dengan hal lain.
Ijma para sahabat, imam-imam mazhab
dan mujtahid-muktahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya
terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash
yang sharih.
Misalnya:[6]
Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek.
Didalam Al-Qur'an hal ini tidak dijelaskan, yang dijelaskan adalah status
saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki
yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab.
Kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan bagian.
Menurut pendapat kebanyakan sahabat
dan imam-imam mazhab yang menutip pendapat zaid bin tsabit, saudara-saudara tersebut
dapat mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.
C. Sistem Hukum Waris Islam
Hazairin mengemukakan bahwa “Sistem
Kewarisan Islam adalah sistem individual bilateral”.[7] Dikatakan demikian,
atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur'an anatar lain seperti yang
tercantum dalam surat An-Nissa (QS. IV) ayat 7, 8, 11, 12, 33 dan ayat 176.
Hazairin juga mengemukakan beberapa hal yang merupakan ciri dari sistem Hukum
Waris Islam menurut Al-Qur'an, yaitu sebagai berikut:
- Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris
serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris diluar
Al-Qur'an hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi ahli
waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah.
- Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan
saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan
orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip diatas maksudnya
ialah jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak
pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari
anak-anaknya. Menurut sistem Hukum Waris diluar Al-Quran hal tersebut
tidak mungkin sebab saudara is pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
- Bahwa suami-isteri saling mewaris; artinya pihak yang hidup
paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.
Sistem Kewarisan Islam menurut Al-Qur'an sesungguhnya merupakan
perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di Negeri
Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal.
Wujud warisan atau harta
peninggalan yang dimaksud dalam Hukum Islam adalah “ sejumlah harta benda serta
segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, harta
peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda
serta segala hak, “ setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris
dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal
waris.”[8]
D. Sebab-sebab Mewaris
Dalam agama Islam sebab-sebab mewaris
atau pusaka memusakai ada empat:[9]
1. Kekeluargaan
Seperti yang disebutkan di dalam
firman Allah surat An-Nissa ayat 7 yang artinya :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta sepeninggalan ibu-Bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada pula dari
harta peninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai kekeluargaan ini diatur atau
dijelaskan dalam Pasal 174 buku II mengenai kelompok ahli waris.
2. Perkawinan
Dalam Kompilasi Hukum Islam hal ini
dijelaskan dalam buku II ketentuan umum Pasal 171 poin (c), “ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.” Hal ini juga diatur dalam Pasal 174 mengenai
kelompok ahli waris, dimana disebutkan bahwa salah satu kelompok ahli waris
adalah menurut hubungan perkawinan yang terdiri dari, duda atau janda.
3. Dengan jalan memerdekakan dari
perbudakan
Mengenai sebab mewaris dengan jalan
memerdekakan dari perbudakan ini tidak diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam,
karena pada saat ini perbudakan sudah tidak diperbolehkan lagi.
4. Hubungan Islam
Sebab mewaris karena hubungan islam
ini, dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 191: “Bila pewaris tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama Islam
diserahkan kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan
umum.
E. Penggolongan Ahli Waris
Secara garis besar, golongan ahli
waris dalam Islam dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan ahli waris, yaitu:
Ahli waris menurut Al-Qur'an atau
yang sudah ditentukan didalam Al-Qur'an, yang disebut dzul
Faraa'id Dzul Faraa'idh yaitu ahli waris
yang sudah ditentukan didalam Al-Qur'an, yakni ahli waris langsung yang
mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.[10] Adapun
rincian masing-masing ahli waris dzul Faraa'idh ini dalam
Al-Quran tertera dalam surat An-Nisaa (QS. IV) ayat11, 12, dan 176. Ahli waris
yang termasuk dalam golongan dzul Faraa'idh ini
diantaranya adalah:
- Anak perempuan
- Anak perempuan dari anak laki-laki (QS. IV: 11)
- Ayah
- Ibu
- Kakek dari garis ayah
- Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (QS. IV: 11)
- Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah
- Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari
gari ayah (QS. IV: 176)
- Saudara laki-laki tiri (halfbroeder) dari
garis ibu (QS. IV: 12)
- Saudara perempuan tiri (halfzuster)
dari garis ibu (QS. IV: 12)
- Duda
- Janda (QS. IV: 12)
Dalam kompilasi hukum islam, mengenai penggolongan ahli waris ini
diatur dalam buku II bab II Pasal 174 mengenai kelompok-kelompok ahli waris.
·
Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah
Ashabah dalam bahasa arab berarti anak lelaki dan kaum kerabat dari
pihak bapak.[11] Ashabah menurut ajaran
kewarisan patrilineal Syafi'i adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian
terbuka atau bagian sisa, dengan kata lain setelah bagian waris dibagikan
kepada ahli waris Dzul faraa'idh, setelah itu
sisanya baru diberikan kepada ashabah. Ashabah terbagi menjadi
tiga golongan yaitu: Ashabah binafsihi, ashabah bilghairi, dan
ashabah
ma'al ghairi.[12] Ashabah-ashabah tersebut menurut
M. Ali Hasan terdiri atas:[13]
- Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang
berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai
berikut:
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal
saja ada pertaliannya masih terus laki-laki
- Ayah
- Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya
belum putus dari pihak ayah
- Saudara laki-laki sekandung
- Saudara laki-laki seayah
- Anak saudara laki-laki sekandung
- Anak saudara laki-laki seayah
- Paman yang sekandung dengan ayah
- Paman yang seayah dengan ayah
- Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
- Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
- Ashabah bilghairi yaitu ashabah
dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena
ditarik oleh seorang laki-laki,mereka yang termasuk dalam ashabah
bighairi ini adalah sebagai berikut:
- Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki
- Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki
- Ashabah ma'al ghairi yakni saudara perempuan yang mewaris
bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah:
- Saudara perempuan sekandung
- Saudara perempuan seayah
- Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul
arhaam
Dzul arhaam adalah orang yang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.[14] Dzul
arhaam diantaranya adalah cucu melalui anak perempuan,
menurut kewarisan patrilineal tidak menempati tempat anak, tetapi diberi
kedudukan sendiri dengan sebutan dzul arhaam, dzul arhaam ini
baru mendapatkan bagian atau akan mewaris jika sudah tidak ada dzul
faraa'idh dan tidak ada pula ashabah. Selain cucu melalui anak
perempuan, yang dapat digolongkan sebagai dzul arhaam adalah anggota keluarga
yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita.
Di samping ketiga kelompok besar
ahli waris di atas, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu ahli
waris yang didahulukan untuk mewaris[15] dari kelompok ahli waris lainnya.
Mereka yang menurut Al-Qur'an termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris
ini terdiri dari empat macam, yaitu:
- Keutamaan pertama, yaitu:
- Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris
pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia
- Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak
- Keutamaan kedua:
- Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris
pengganti kedudukan saudara
- Ayah, ibi, janda atau duda, bila tidak ada saudara
- Keutamaan ketiga:
- Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah
satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara
- Janda atau duda
- Keutamaan keempat:
- Janda atau duda
- Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti
kedudukan ayah
F. Hikmah Mawaris
1.
Mawaris memperkuat keyakinan bahwa Allah betul-betul Maha Adil, karena
adilannya Allah tidak hanya terdapat pada ciptaan-Nya, tetapi juga pada
hukum-hukum yang telah diterapkan-Nya, seperti hukum waris Islam.
Prinsip-prinsip keadilan mawaris tersebut antara lain :
Prinsip-prinsip keadilan mawaris tersebut antara lain :
b.
Semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah secara langsung dengan
pewaris (Ibu, Ayah, Anak laki-laki, Anak perempuan) tentu akan mendapat bagian
harta warisan mereka tidak dapat terhalang oleh ahli waris lain.
c.
Suami mendapat bagian harta peninggalan istrinya dan istri mendapat
bagian dari harta peninggalan suaminya, walaupun antara suami dengan istri
tidak ada hubungan darah, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan mereka
sangat dekat dan jasanya pun antara satu terhadap lainnya tidak sedikit.
d.
Anak laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dari anak
perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan bahwa kewajiban dan tanggung
jawab anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan.
2.
Hukum waris Islam memberi petunjuk kepada setiap muslim, keluarga
muslim, dan masyarakat Islam, agar selalu giat melakukan usaha-usaha dakwah dan
pendidikan Islam, sehingga tidak ada seorang Islam pun yang murtad.
3.
Menghilangkan jurang pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin
serta dapat mendorong masyarakat untuk maju. Alasannya :
a.
Hasil peninggalan orang-orang kaya yang meninggal dunia tetapi tidak
meninggalkan ahli waris, dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat
b.
Muslimin yang dikaruniai Allah harta kekayaan yang melimpah, alangkah
baiknya sebelum meninggal dunia berwasiat supaya 1/3 dari harta peninggalannya
diserahkan kepada lembaga sosial atau lembaga pendidikan dan dakwah Islam untuk
kepentingan umat.
4.
Mematuhi hukum waris Islam dengan dilandasi rasa ikhlas karena Allah dan
untuk memperoleh ridha Nya, tentu akan dapat menghilangkan sifat-sifat tercela
yang mungkin timbul kepada para ahli waris.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris adalah ilmu
yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan,
siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang
diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal
Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14
kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut
mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin,
menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan,
ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya
maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd
maupun diserahkan kepada Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan ke baitul Mal
untuk kepentingan umat islam.
B. Saran
Mungkin inilah yang
diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun penulisan ini jauh dari
sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan
dari penulisan makalah ini, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan
dosa: dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh
saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik
daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen
pembimbing mata kuliah Piqih yang telah memberi kami tugas individu demi
kebaikan diri kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.
DAPTAR PUSTAKA
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir
Solo.
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung:
Maju Mundur, 1992.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat , Jakarta:
Universitas, 1966.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta:
Liberty,1981.
Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat,
Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar